Review Film The Worst Person in the World. Film The Worst Person in the World (2021) karya Joachim Trier jadi potret paling jujur soal millennial angst, dengan Renate Reinsve sebagai Julie—wanita Oslo 30-an yang bolak-balik karir, cowok, dan identitas. Raih Cannes Best Actress dan nominasi Oscar Best International Feature, film ini meledak lagi di 2025 berkat diskusi TikTok tentang quarter-life crisis dan restreaming pasca-pandemi. Review ini kupas kenapa cerita 12 chapter 128 menit ini terasa seperti curhat diri: kegagalan romansa, ambisi gagal, dan momen “pause” hidup yang bikin kita semua Julie suatu saat. BERITA BOLA
Struktur 12 Chapter yang Brilian: Review Film The Worst Person in the World
Trier bagi film jadi 12 bab seperti novel grafis, plus prologue/epilogue—setiap chapter fokus satu fase Julie: dari asisten foto ke apoteker, dari komik ke medis. Adegan “time freeze” magis—Julie lari ke pesta sementara dunia diam—simbol kebebasan sementara dari tekanan dewasa. Visual Hoyte van Hoytema lembut: Oslo musim panas terang, musim dingin kelabu, tanpa CGI berlebih.
Pacing santai tapi tajam: 2 jam terasa seperti obrolan malam, dengan transisi halus antar chapter. Di 2025, struktur ini inspirasi film Gen Z—fleksibel, non-linear, mirip scroll Instagram life update.
Performa Renate Reinsve: Julie yang Relatable Banget: Review Film The Worst Person in the World
Reinsve curi hati sebagai Julie—chaotic good yang impulsif tapi endearing: tinggalkan pacar sukses demi barista muda, ganti jurusan 3 kali, tapi selalu self-aware. Adegan MDMA trip atau pesta “worst person” tunjukkan kerapuhan di balik senyum. Dia bilang, peran ini semi-autobiografi—bikin autentik tanpa pretensius.
Anders Danielsen Lie sebagai Aksel—komikus 40-an matang—ciptakan dinamika bittersweet: cinta stabil vs petualangan. Herbert Nordrum sebagai Eivind tambah segar. Ensemble kecil tapi kuat, dialog improvisasi ala Trier bikin terasa curhat teman Oslo.
Tema Indecisiveness dan Modern Love
Inti film: tak ada “worst person”—hanya manusia bingung di era pilihan berlebih. Julie wakili FOMO generasi: komitmen karir vs passion, monogami vs open relationship, anak vs freedom. Chapter 11 “Julie berusia 30 tahun” klimaks dengan refleksi: “Aku takut jadi orang yang sama selamanya.”
Trier kritik lembut Tinder culture—hubungan bagus tapi tak cukup, tanpa villainisasi. Tema aborsi, ambisi wanita, dan mental health resonan 2025: survei tunjukkan 40% milenial ganti karir 5 kali sebelum 35. Film akui kegagalan sebagai growth, bukan kegagalan.
Relevansi 2025: Mirror untuk Generasi Stuck
Di zaman side hustle dan delayed adulthood, film ini jadi terapi kolektif. Streaming naik 45% tahun ini berkat meme “Julie energy”—dari outfit effortless sampai quote “aku akan mati tapi hidup.” Gen Alpha relate via orang tua mereka; film inspirasi series seperti Fleabag atau Somebody Somewhere.
Cocok ditonton solo untuk introspeksi, atau date night diskusi “chapter selanjutnya hidupmu apa.” Trier bilang, ini tentang “keberanian jadi tidak sempurna”—pesan pas buat era burnout.
Kesimpulan
The Worst Person in the World adalah cermin lucu sekaligus pilu untuk jiwa modern, dengan Reinsve sebagai Julie yang kita semua kenal. Struktur inovatif, performa jujur, dan tema mendalamnya bikin film ini kinclong di 2025—tak lekang, malah makin sakit. Bukan romcom klise, tapi pengingat: hidup tak punya plot twist besar, hanya chapter kecil yang kita tulis sendiri. Nonton sekarang, pause sebentar, dan tanya: chaptermu yang mana?
