Review Film Train to Busan. Sembilan tahun setelah rilis, “Train to Busan” masih jadi film zombie paling emosional dan paling sering direkomendasikan di seluruh dunia. Tayang Juli 2016, disutradarai Yeon Sang-ho dalam debut live-actionnya, film ini langsung pecah rekor dengan lebih dari 11 juta penonton di Korea dan masuk daftar film Korea terlaris sepanjang masa. Durasi 118 menit ini berhasil bikin jutaan orang menangis di bioskop, sesuatu yang jarang terjadi di genre zombie. Hingga akhir 2025, film ini tetap jadi benchmark: kalau ada film zombie baru, pasti dibandingkan dengan “Train to Busan”. Bukan cuma soal lari dari mayat hidup, tapi soal manusia yang tetap manusia di tengah kiamat. BERITA BOLA
Cerita yang Menyakitkan Hati: Review Film Train to Busan
Seok-woo (Gong Yoo) adalah fund manager egois yang sibuk kerja sampai lupa ulang tahun anaknya sendiri. Untuk menebus, ia antar Su-an (Kim Su-an) naik KTX dari Seoul ke Busan agar ketemu ibunya. Di stasiun terakhir sebelum berangkat, seorang perempuan terinfeksi masuk gerbong, dan dalam hitungan menit seluruh kereta jadi neraka. Penyebaran virusnya brutal cepat: satu gigitan, beberapa detik kemudian orang itu berubah, lari kencang, dan hanya mati kalau kepalanya hancur.
Yang bikin beda, film ini tak cuma kejar-kejaran. Ada kelompok kecil yang bertahan: Seok-woo dan Su-an, pasangan suami-istri hamil Sang-hwa (Ma Dong-seok) dan Seong-kyeong (Jung Yu-mi), dua siswi SMA, seorang kakek, dan seorang pengusaha egois bernama Yong-suk. Setiap gerbong yang mereka lewati adalah ujian moral: buka pintu untuk orang lain atau selamatkan diri sendiri? Puncaknya adalah pengorbanan demi pengorbanan yang bikin penonton menangis di kursi bioskop.
Penampilan Aktor yang Tak Terlupakan: Review Film Train to Busan
Gong Yoo bawa transformasi sempurna dari ayah dingin jadi ayah yang rela mati demi anaknya. Kim Su-an, yang saat itu baru 8 tahun, curi hati dengan akting natural – adegan ia nyanyi “Aloha ʻOe” di akhir film jadi salah satu momen paling menghancurkan di perfilman. Ma Dong-seok, seperti biasa, bawa kekuatan fisik sekaligus kehangatan; karakternya Sang-hwa jadi pahlawan favorit semua orang.
Choi Woo-shik dan Ahn So-hee sebagai pasangan remaja juga natural, sementara Kim Eui-sung sebagai Yong-suk berhasil bikin penonton benci setengah mati – villain manusia jauh lebih menjijikkan daripada zombie.
Gaya Sinematik dan Pesan yang Dalam
Yeon Sang-ho pintar pakai ruang sempit kereta sebagai latar: koridor gelap, gerbong penuh orang panik, stasiun yang sepi mencekam. Efek zombie-nya masih bagus sampai sekarang – cepat, ganas, tapi tetap terasa manusiawi di detik-detik sebelum berubah. Musik Zhang Zhe-woo bikin jantungan, terutama saat kereta melaju di terowongan gelap.
Tapi yang bikin film ini abadi adalah kritik sosialnya: egoisme kelas atas, pengorbanan kelas pekerja, dan bagaimana kemanusiaan bisa hilang lebih cepat daripada virus. Di 2025, pesan itu masih terasa relevan – bahkan lebih tajam setelah pandemi nyata.
Kesimpulan
“Train to Busan” bukan cuma film zombie terbaik dari Korea, tapi salah satu film terbaik dekade 2010-an secara keseluruhan. Sembilan tahun kemudian, masih bisa bikin orang menangis di menit akhir, masih bisa bikin jantungan di adegan lari, dan masih bisa bikin mikir tentang apa yang benar-benar penting dalam hidup. Kalau kamu belum pernah nonton, siapkan tisu. Kalau sudah pernah, tonton lagi – rasanya tetap sama sakitnya. Di akhir 2025, saat genre zombie mulai lelah, “Train to Busan” tetap berdiri tegak sebagai pengingat: terkadang, monster terbesar bukan yang lari mengejar, tapi yang ada di dalam diri kita sendiri.
