Review Film Goodbye, Farewell. Film “Goodbye, Farewell” masih jadi sorotan di akhir 2025, meski sudah setahun sejak rilisnya pada Juni tahun lalu. Disutradarai dan ditulis oleh Adriyanto Dewo, drama romantis berdurasi 109 menit ini mengisahkan Wyn, seorang wanita yang tiba-tiba ditinggal kekasihnya dan berlayar ke Seoul untuk mencarinya. Di sana, ia bertemu Rey, pekerja Indonesia yang enggan terlibat tapi akhirnya jadi penyelamat. Dibintangi Putri Marino sebagai Wyn, Jerome Kurnia sebagai Rey, dan Jourdy Pranata sebagai Dani, cerita ini mengeksplorasi tema perpisahan yang tak terhindarkan dan kekuatan ikatan tak terduga. Dengan rating sekitar 6.2 di berbagai platform, film ini dipuji atas visualnya yang memukau tapi dikritik karena alur yang kadang kehilangan arah di paruh akhir. Sebagai adaptasi pengalaman imigran modern, ia tawarkan cermin tajam soal cinta yang rapuh di tengah jarak dan rahasia. MAKNA LAGU
Sinopsis yang Penuh Rahasia dan Pencarian: Review Film Goodbye, Farewell
Wyn tiba di Seoul dengan hati hancur, mencari Dani yang menghilang tanpa jejak setelah hubungan mereka retak. Kota yang sibuk dan asing ini jadi latar perjuangannya, di mana ia bertemu Rey secara kebetulan di jalanan ramai. Rey, yang hidup sederhana sebagai pekerja migran, awalnya menolak bantu—ia punya alasan sendiri untuk menjaga jarak dari orang asing. Tapi rasa iba dan rasa ingin tahu membuatnya ikut serta, membawa Wyn menyusuri gang-gang sempit, kafe tersembunyi, dan komunitas kecil pekerja Indonesia. Saat hubungan mereka tumbuh, Rey menemukan rahasia besar: Dani tak benar-benar hilang, tapi sengaja menyembunyikan identitas baru untuk mulai lagi. Saat Wyn akhirnya bertemu Dani, tragedi menimpa—Wyn menghilang, memaksa Rey melanjutkan pencarian dengan taruhan emosional yang lebih tinggi. Sinopsis ini tak sekadar romansa, tapi renungan soal bagaimana perpisahan bisa jadi jalan menuju pemahaman diri, meski penuh plot twist yang terasa familiar.
Performa Aktor yang Menyentuh Jiwa: Review Film Goodbye, Farewell
Putri Marino sebagai Wyn tampil memikat, membawa kerapuhan seorang wanita yang gigih tapi rapuh di bawah tekanan. Ekspresinya saat berjalan sendirian di hujan Seoul terasa begitu nyata, membuat penonton ikut merasakan kesepiannya. Jerome Kurnia sebagai Rey memberikan kedalaman pada karakter cuek yang pelan-pelan meleleh; dialog minimnya justru kuat, terutama di momen-momen diam yang penuh makna. Jourdy Pranata sebagai Dani menonjol dengan intensitas misterius, mengubah kekasih ideal jadi sosok ambigu yang bikin penonton bertanya-tanya. Lutesha sebagai sahabat Wyn dan Kiki Narendra sebagai figur pendukung menambah lapisan emosional tanpa mencuri perhatian. Chemistry antara Putri dan Jerome terasa alami, seperti dua orang asing yang dipaksa dekat oleh nasib, meski beberapa adegan romantis terasa agak dipaksakan. Secara keseluruhan, para aktor ini sukses buat cerita terasa personal, seolah kita ikut campur dalam rahasia mereka.
Produksi dan Tema yang Menggugat Cinta
Adriyanto Dewo unggul dalam visual: sinematografi menangkap keindahan Seoul yang kontras—dari neon terang malam hari sampai keheningan pagi di pinggir Sungai Han—membuat setiap frame seperti lukisan yang hidup. Musik latar bergaya indie Korea-Indonesia campur aduk ciptakan suasana melankolis tanpa berlebihan, mendukung ritme lambat yang mirip perjalanan Wyn. Editing rapi di awal, tapi paruh akhir terasa tergesa, seolah film ragu mau akhiri cerita dengan damai atau tragis. Tema utamanya patut diapresiasi: ia pertanyakan kekuatan redemptive love, apakah cinta bisa selamatkan seseorang dari keputusasaan, atau justru percepat perpisahan. Elemen imigrasi dan identitas budaya Indonesia di Korea tambah relevansi, soroti bagaimana jarak fisik amplifikasi luka emosional. Minusnya, beberapa subplot sampingan terasa kurang tergali, membuat akhir agak kurang memuaskan bagi yang suka resolusi jelas.
Kesimpulan
“Goodbye, Farewell” adalah drama yang lembut tapi menusuk, cocok untuk siapa saja yang pernah bertanya-tanya soal arti melepaskan. Kekuatannya ada di performa solid dan visual memukau, meski alur yang goyah di tengah bikin ia tak sempurna. Setahun setelah tayang, film ini masih sering dibahas di forum film, terutama soal bagaimana ia gambarkan perpisahan sebagai bagian tak terhindarkan dari hidup. Bagi penggemar romansa melankolis ala “Before Sunrise” dengan sentuhan lokal, ini wajib tonton—siapkan hati untuk momen-momen yang bikin mikir ulang soal hubungan. Pada akhirnya, seperti judulnya, film ini ajarkan bahwa selamat tinggal bukan akhir, tapi undangan untuk mulai lagi, entah dengan orang baru atau diri sendiri yang lebih kuat.

